Cari Blog Ini

Kamis, 31 Maret 2022

Penilaian Pembelajaran; Refleksi hasil rapat K3S


Rapat Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S) Kecamatan Terara, Kamis, 31 Maret 2022, mencakup bahasan yang terdiri dari Sosialisasi Penilaian Akhir Tahun dan Ujian Sekolah pada kelas 6, pendidikan inklusi, dan pelaksanaan KOSN, KSN, dan FLSN.

Suasana rapat cukup alot dan memperlihatkan suasana yang demokratis. Hal itu muncul terutama ketika diskusi tentang pelaksanaan PAT dan US untuk kelas 6. Titik masalah diskusi itu terkait dengan penyusunan soal atau alat evaluasi dalam hal ini penyusun soal.

Secara umum pendapat peserta rapat terbelah ke dalam 4 kelompok, yaitu, 1) Penyusunan soal disusun di tingkat kecamatan dengan melibatkan guru tertentu yang memiliki kapabilitas dan kompetensi yang dapat diandalkan. 2) Penyusunan soal dilakukan di tingkat gugus dengan pola yang sama dengan tingkat kecamatan, dan 3) penyusunan soal dilaksanakan pada tingkat sekolah dengan penyusunan atau pembuatan soal dilakukan oleh guru di sekolah masing-masing, 4) kelompok terakhir mengambil sikap diam.

Dua kelompok pertama (penyusunan soal di tingkat gugus dan kecamatan) memiliki argument yang dapat dianggap sama. Alat evaluasi sebagai alat ukur pembelajaran harus disusun oleh guru-guru tertentu yang memiliki kemampuan untuk itu. Alasan kelompok ini didasari oleh asumsi bahwa tidak semua guru mampu menyusun soal evaluasi secara tepat dan dapat dipertanggungjawabkan. Sejauh ini, sebagian besar guru diasumsikan (mungkin juga dipastikan) belum memiliki kemampuan membuat alat evaluasi (soal penilaian) untuk digunakan sebagai alat ukur dalam Penilaian Akhir Semester dan atau penilaian pada Ujian Sekolah. 

Alasan lainnya, sebagai upaya efisiensi biaya penilaian pada tahap penggandaan. Jika soal disusun dan digandakan secara kolektif pada tingkat gugus atau kecamatan, biaya penggandaan akan lebih rendah karena volume penggandaan akan lebih banyak sehingga membuka peluang harga yang ditawarkan pihak percetakan lebih murah. Berbeda dengan penggandaan dokumen dalam jumlah yang sedikit, standar harga yang diberikan biasanya menyesuaikan dengan harga eceran.

Satu kelompok lainnya berpendapat bahwa soal sebaiknya disusun pada tingkat sekolah. Hal ini dasarkan pada asumsi bahwa guru merupakan komponen yang paling tahu tentang materi atau kompetensi yang sudah diajarkan. Guru pada saat yang sama memiliki tanggung jawab melaksanakan pembelajaran dan evaluasi atau penilaian pembelajaran itu bagian integral dari proses pembelajaran.

Gagasan ke dua ini cukup logis. Pembelajaran merupakan serangkaian proses yang didesign guru dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan tindak lanjut. Ke empat tahapan itu tidak dapat dipisahkan. Ketika seorang guru membuat perencanaan pembelajaran, idealnya guru yang bersangkutanlah yang paling memahami esensi dan alur perencanaan yang dibuatnya. Jika demikian halnya, guru tersebutlah yang paling memahami bagaimana perencanaan itu diwujudkan dalam proses pembelajaran. Muaranya, tentu pada evaluasi pembelajaran. Bagaimana bentuk evaluasi dan apa saja yang perlu dievaluasi tentu berdasarkan proses pembelajaran yang telah dilakukan oleh seorang guru di kelasnya.

Saya tidak berniat berpihak kepada salah satu dari pendapat di atas. Ke duanya memiliki basis argumen yang tentunya didasarkan pada pengalaman dan sudut pandang masing-masing. 

Hanya saja, satu hal yang penting menjadi catatan adalah bahwa selama ini pola penilaian cenderung menyeragamkan mutu sekolah. Akibatnya, penyusunan alat evaluasi pada penilaian semester dan penilaian ujian akhir sekolah cenderung bersifat sentralistik dan menafikan heterogenitas siswa yang ada pada masing-masing sekolah. Ini berarti bahwa alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan informasi tentang perkembangan siswa menggunakan satu parameter.

Akibat paling memilukan adalah adanya kecenderungan kurangnya kemampuan guru dalam menyusun alat ukur. Hal ini terjadi karena mereka tidak diberikan kesempatan untuk membuat soal sendiri.

Dari sudut pandang biaya, argumen ini mungkin bisa dikesampingkan. Perbedaan biaya cetak kolektif beberapa sekolah dengan cetak mandiri menurut saya tidak terlalu signifikan. Hal terpenting adalah bagaimana guru terlatih membuat soal penilaian. Salah satu solusinya adalah dengan memberikan kepercayaan kepada mereka untuk melakukan penilaian secara mandiri.

Bagaimana jika hasil penyusunan soal yang tidak valid sehingga mengorbankan anak-anak sebagai obyek penilaian? Di sinilah proses belajar itu berlaku. Belajar merupakan upaya mengurangi kesalahan. Maka penting untuk melakukan evaluasi setiap proses dan hasil sebagai acuan untuk memperbaiki proses selanjutnya. Salah dan coba lagi. Kalau boleh jujur, munculnya asumsi bahwa guru sebagian besar tidak berkompeten membuat soal karena selama ini mereka telah menjadi korban kebijakan yang perlu ditinjau ulang.

Saya teringat ketika dulu saya dan pembaca artikel ini duduk di bangku sekolah. Para guru di masa lalu yang menjalankan tugas kependidikan dengan keterbatasan teknologi mampu menjalankan tugas dalam memimpin pembelajaran dengan sangat maksimal. Dengan media tulis yang sangat konvensional dalam persepektif kemajuan teknologi saat ini, mereka menjalani tugasnya secara paripurna.

Seharusnya kondisi masa lalu itu dapat mengubah cara berfikir yang lebih maju bagi pelaksanaan pendidikan dewasa ini. Media tulis digital dan sumber belajar yang melimpah dalam jaringan internet saat ini seharusnya membuat guru lebih memiliki kemampuan merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi, dan melakukan tindak lanjut pembelajaran.

Lombok Timur, 31 Maret 2022

Selasa, 08 Maret 2022

Belajar Berbicara Efektif (Catatan sederhana webinar Public Speaking)


Berbicara adalah bagian utama dari proses komunikasi. Berbicara merupakan kegiatan menyampaikan informasi kepada orang lain secara lisan. Setiap orang, kecuali penyandang tuna wicara, secara niscaya akan menjalani keseharian dengan berbicara. Berbicara tidaklah terlalu bermasalah ketika dilakukan dalam situasi santai berupa obrolan di teras rumah atau bertukar cerita dengan teman lama di sebuah kedai kopi.

Situasi akan berbeda, ketika seseorang berbicara di depan publik. Tidak semua orang memiliki kemampuan dan keberanian untuk melakukannya. Kemampuan ini dikenal dengan istilah public speaking. Pada situasi tertentu seseorang bisa dengan lancar berbicara di hadapan orang banyak. Misalnya, seorang kepala sekolah bisa dengan berbicara secara sempurna saat memimpin rapat di depan guru. Hal ini bisa dipahami karena kepala sekolah sudah akrab dengan audiens.

Akan tetapi, pada situasi yang berbeda kepala sekolah bisa mengalami kebuntuan saat menyampaikan materi. Ketika berhadapan dengan audiens yang terdiri dari kepala dinas, bupati, atau sejumlah pejabat, yang bersangkutan bisa dirundung rasa tidak percaya diri sehingga kemampuan kognisinya melemah untuk mengingat materi yang akan disampaikan. 

Dalam situasi ini, pembicara dapat mengacu pada ToR (Term of Reference), gambaran umum tentang informasi latar belakang suatu kegiatan/acara, strategi capaian atau tujuan, penerima manfaat (perserta), waktu kegiatan, dan biaya yang diperlukan.

Public speaking, dengan demikian, dapat dilakukan dengan baik sangat tergantung kepada situasi dan kondisi kegiatan. Hal ini terungkap dari beberapa pengakuan peserta webinar, 08 Maret 2022, bertajuk “Belajar Berbicara Efektif” bersama narasumber profesional di bidangnya, Dedi Dwitagama.

Webinar berlangsung dialogis, suasana santai laiknya sebuah obrolan biasa. Situasi itu membuat peserta mengikuti webinar dengan antusias lebih berkonsentrasi. Narsum memilih menyampaikan materi berdasarkan pertanyaan peserta. Saya berasumsi dengan metode seperti itu narsum dapat menyampaikan materi sesuai dengan kebutuhan peserta dengan latar belakang yang berbeda.

Hal mendasar yang perlu diperhatikan, menurut narsum, adalah bahwa seorang public speaker harus mempersiapkan diri dengan matang sebelum tampil berbicara. Idealnya peserta harus menguasai materi yang akan disampaikan. Secara teknis, pembicara harus membuat konsep materi yang akan disampaikan. Dengan persiapan seperti ini, pembicara dapat terhindar dari kendala kognitif dalam mengingat materi. Jika menggunakan slide, pembicara harus mempersiapkan gambaran besar materi dengan design presentasi yang menarik audiens. Hindari copy paste.

Sebagai pembicara, harus memiliki integritas; upayakan hadir lebih awal di lokasi kegiatan, datang dengan penampilan rapi sangat penting untuk memberikan kesan positif. Tampil dengan ramah dan senyum kepada semua audiens. Tunjukkan sikap percaya diri. Menjadi diri sendiri jauh lebih baik daripada meniru gaya berbicara orang lain. Pembicara harus menikmati penampilannya. 

Kapasitas pembicara tidak sama. Pada MC, public speaker penting didukung dengan data audiensi, seperti nama, gelar, atau jabatan. MC memiliki kewenangan dalam mengatur waktu. Jika pembicara melampaui batas waktu, MC berhak memberikan peringatan tetapi dengan cara dan etika yang dapat dipertanggungjawabkan. Hindari memberikan kesimpulan materi yang disampaikan orang lain

Ada pembicara melakukan pengulangan kata atau kalimat yang sama. Ini dapat mempengaruhi citra pembicara di hadapan audiens. Untuk kasus ini pembicara dapat mempersiapkan diri dengan merekam dirinya sendiri lalu mencatat kata atau kalimat yang sering mengalami pengulangan. Hal paling penting adalah MC harus menguasai acara yang sedang berlangsung dan sampaikan materi dengan 5H & 1H.

Penilaian terhadap proses dan hasi kegiatan merupakan bagian integral dan tidak dapat diabaikan. Hasil penilaian itulah yang dapat dijadikan dasar untuk memperbaiki kegiatan selanjutnya. Dokumentasi kegiatan merupakan salah satu media untuk melakukan evaluasi sekaligus sebagai bukti faktual bahwa seseorang pernah melakukannya.

Lombok Timur, 09 Maret 2022

Menulis Itu Mudah? (9)

  Benarkah menulis itu mudah? Pertanyaan ini pada dasarnya muncul dari dua pernyataan yang bersifat paradoks, berseberangan, atau bertentang...