Cari Blog Ini

Tampilkan postingan dengan label Wisata. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Wisata. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 21 Mei 2022

Bukit Pemedengan

 


Sembalun. Jika Anda berselancar pada sumdera google dengan keyword ini, mesin pencari paling populer dalam dunia internet akan menemukan 996.000 hasil yang sama (0.40 detik). Dibandingkan dengan menuliskan keyword Bali yang mencapai angka 1,170,000,000 hasil (0.59 seconds). Entah apa makna hasil pencarian ini, saya tidak begitu mengerti. Saya hanya menduga bahwa angka itu menunjukkan popularitas suatu kata yang dicari melalui aplikasi ciptaan Larry Page dan Sergey Brin itu.

Sembalun memang tidak sepopuler Bali atau daerah lain. Sembalun, sebuah wilayah kecamatan yang terletak di Kabupaten Lombok Timur, NTB. Pada masa orde baru, Sembalun pernah menjadi salah satu daerah penghasil bawang putih terbesar nasional sejak tahun 1990. Kejayaan itu berakhir sekitar tahun 1998 ketika pemerintah membuka kebijakan kran impor bawang.

Saat ini kejayaan bawang putih itu telah menjadi sebuah legenda. Para petani bawang putih hanya dapat menceritakan masa lalu itu dengan frase “pernah jaya” kepada anak cucu mereka. 

Namun demikian, kemerosotan nama besar Sembalun tidak membuat daerah ini menjadi nama yang hilang. Sembalun kini menjadi salah satu destinasi wisata yang sangat kaya dengan pemandangan alam yang menawan. Hari ini saya berkesempatan berkunjung ke salah satu obyek wisata di Sembalun yang terletak di Desa Sajang. Daerah wisata itu dikenal dengan nama Bukit Pemedengan. 


Kini bukit yang berada pada titik sekitar 1000 di atas permukaan laut itu menjadi salah satu obyek wisata yang cukup populer. Untuk mencapai tempat itu pengunjung harus melintasi jalan yang membelah kebun warga. Pengunjung seperti melintas hutan belantara. Menuju Bukit Pemedengan pengunjung dapat menggunakan mobil. Hanya saja pengemudi harus ekstra hati-hati karena jalur untuk masuk ke area itu melalui jalan tanah dan cenderung berbatu. Pada beberapa tanjakan pendek terlihat lubang memanjang akibat tergerus air saat hujan.


Pemedengan berasal dari kata dalam bahasa setempat yaitu, “pedeng” yang berarti kering. Pemedengan berarti tempat pengeringan atau tempat berjemur. Suhu Sembalun yang dingin sepanjang siang membuat warga mencari tempat berjemur. Rupanya bukit itu menerima hamparan matahari secara sempurna sehingga masyarakat setempat memanfaatkannya sebagai tempat berjemur untuk menganulir hawa dingin yang menusuk tulang pada siang hari.

Berada di Bukit Pemedengan, pengunjung dapat menikmati sun rice di ufuk timur dan sunset di ufuk barat. Saya tidak dapat merekam suasana sunset atau sunrice karena berkunjung pada siang hari. Di bawah bukit pengunjung dimanjakan dengan pemandangan yang sangat menawan. Dari ketinggian bukit pengunjung dapat menyaksikan hamparan hutan dan serakan pemukiman warga di bawah bukit. Di kejauhan tampak barisan bukit lain yang membentang melengkapi keindahan alam Sembalun. Kabut siang itu mengaburkan membatasi tampilan alam sehingga tidak dapat dinikmati secara maksimal.

Di tempat itu pengunjung difasilitasi dengan sebuah rumah panggung. Dari bangunan itu pengunjung dapat menikmati keindahan alam di bawah bukit atau barisan bukit lain di daerah Sembalun. Pengelola juga menyediakan spot yang memungkinkan pengunjung untuk mengambil gambar dengan background pemandangan yang menawan.

Memasuki area ini pengunjung hanya membayar 7K. Selain menawarkan keindahan alam Untuk berselfi juga menawarkan  Camp Area  bagi pisatawan  yang ingin melakukan aktifitas bermalam dengan lokasi yang cukup luas. Pengelola menyediakan tenda yang tentu saja berbayar atau pengunjung dapat membawa tenda sendiri.


Tidak saja Bukit Pemedengan, Sembalun juga menyediakan temoat wisata yang cukup banyak dengan kindahan yang masih perawan. Bahkan sepanjang jalan menuju Kota Selong (Ibukota Lombok Timur) pesona alam Sembalun membuat mata enggan berkedip. Ada hamparan sawah yang landai dengan tanaman strowberry, bawang putih, sayuran, dan tanaman lainnya. Belum lagi kenampakan alam berupa bukit cadas yang tampak bagai sejumlah punggung kerbau raksasa yang tengah mendengkur kekenyangan.

Lombok Timur, 21 Mei 2022


Rabu, 13 April 2022

Ekowisata Bale Mangrove Poton Bako; Destinasi wisata Berbasis Lingkungan

Rabu siang itu, 16 Maret 2022, setelah mengikuti kegiatan rapat di SDN 4 Jerowaru, saya dan sejumlah kepala sekolah berkunjung ke sebuah lokasi wisata yang tidak jauh dari lokasi rapat.

Angin laut bergerak ringan menerpa dedaunan dan menggoyang ranting kecil. Geraknya menyertakan hawa gerah yang melampaui batas toleransi. Matahari menjerang bumi seakan hendak mendidihkan genangan air laut. Cuaca cerah dalam kuasa hawa panas itu seolah hendak memeras habis keringat setiap pengunjung kawasan ekowisata Poton Bako.

Poton Bako merupakan sebuah perkampungan di pesisir pantai selatan Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Perkampungan nelayan itu tepatnya berada di ceruk lautan yang dikenal dengan nama Teluk Jukung. Sebuah teluk yang terletak wilayah Kecamatan Jerowaro di Kabupaten Lombok Timur. Jika Tuan dan Nyonya berkenan berkunjung dapat mengikuti petunjuk google map ini. 

Ketika memasuki hutan dalam kawasan ekowisata Poton Bako pemandangan awal pengunjung akan tertumpu pada sebuah bangunan seperti panggung yang bertuliskan EKOWISATA BALE MANGROVE. Bale dalam bahasa Sasak berarti rumah. Nama itu sebagai sebuah pesan bahwa kawasan itu seharusnya dianggap sebagai sebuah rumah yang memerlukan perawatan, pemeliharaan, dan pengembangan.

Di dalam hutan mangrove, kondisi udara sangat berbeda. Rimbun pohon mangrove menciptakan kesejukan hampir sempurna. Berada di dalam hutan mangrove pengunjung merasakan keteduhan. Terobos cahaya matahari di sela rimbun mangrove seperti berada di sebuah bangunan rumah besar dengan atap berlubang di sana sini.

Kawasan ekowisata Poton Bako merupakan salah satu destinasi wisata baru di Lombok Timur. Tempat ini dijuluki Bale Mangrove Poton Bako. Dikutip dari Lombok News, kawasan ini dibuka sebagai destinasi wisata yang digagas oleh anak-anak muda setempat. Gagasan itu yang dipicu oleh kegelisahan mereka akibat makin berkurangnya lingkungan hijau di kawasan pantai di banyak tempat termasuk di desa setempat.

Dalam Tempo.co dilaporkan, kawasan yang memiliki luas sekitar dua hektar itu memiliki memiliki dua jenis spesies mangrove yakni Rhizophora dan Sonneratia Alba. Di antara tumbuhan itu terdapat mangrove yang sudah mencapai ratusan tahun sehingga dikategorikan sebagai pohon purba. 

Berdasarkan informasi dari kompas.com, di Lombok bagian utara dalam wilayah kabupaten yang sama, terdapat juga pohon purba lain. Pohon yang terletak di Kecamatan Peringgabaya ini dikenal masyarakat sebagai pohon lian. Tanaman yang dalam istilah latin disebut ficus albipila memiliki akar yang menghunjam ke dalam bumi hingga mencapai sekitar 170 m dengan ketinggian 40-50 meter.

Dalam hutan Ekowisata Bale Mangrove dengan luas sekitar 2 hektar tersebut, pengunjung difasilitasi dengan jembatan yang dibangun khusus agar setiap orang yang masuk leluasa melihat-lihat pemandangan. Jembatan sepanjang kurang lebih 200 m itu memungkinkan pengunjung menikmati belantara mangrove tanpa resiko terbenam dalam lumpur. Saat ini, fasilitas jembatan itu tidak cukup untuk melihat semua area belantara. Beberapa titik di kiri kanan jembatan dibuat spot khusus bagi pengunjung yang berniat foto-foto.

Saya sendiri baru kali ini melihat kumpulan bakau. Akar-akar mangrove itu sebagian bermunculan mirip geliat ular yang tengah menari dalam jumlah yang tak terhitung. Sebagian lagi menancap ke dalam bumi merengkuh lumpur. 

Ekowisata Poton Bako tidak saja berorientasi wisata belaka tetapi juga sebagai sarana edukasi kepada masyarakat dalam rangka peningkatan kesadaran pentingnya pelestarian lingkungan, dalam hal ini hutan bakau. Bahkan bulan Februari 2022 yang lalu di tempat ini telah diselenggarakan festival bale mangrove yang melibatkan siswa sekolah. di sini.

Ide bahwa pelestarian lingkungan tidak saja dalam gagasan semata. Pemuda, pemerhati lingkungan, anak-anak sekolah, dan banyak pihak telah melibatkan diri dalam kegiatan tersebut.


Lombok Timur, 19 Maret 2022

Menulis Itu Mudah? (9)

  Benarkah menulis itu mudah? Pertanyaan ini pada dasarnya muncul dari dua pernyataan yang bersifat paradoks, berseberangan, atau bertentang...