Cari Blog Ini

Kamis, 12 Mei 2022

Belajar Hidroponik

Foto Dokumen Pribadi

Istilah hidroponik pertama kali saya kenal di tahun 2000-an. Saat itu saya mengajar di kelas 6 SD. Dalam pelajaran Bahasa Indonesia terdapat sebuah bacaan pendek tentang hidroponik. Judul bacaan singkat itu “Bertanam tanpa Tanah”.

Beberapa tahun terakhir saya mulai mencari tahu lebih detail tentang teknik bertanam tanpa tanah itu melalui mesin telusur google dan youtube. Dua tahun yang lalu saya mencoba berhidroponik di pekarangan rumah saya yang sempit. Dengan sedikit petunjuk hasil petualangan dunia maya, saya mencoba untuk mengenalnya sedekat mungkin. 

Caranya dengan membeli sejumlah perkakas pendukung untuk menanamnya. Pendeknya saya tidak mungkin mengenalnya lebih dekat tanpa menanamnya. Saya mulai membeli bor listrik dengan mata bor hale saw, mesin gerinda, gergaji besi, palu, sampai hotgun, TDS, PH meter, dan peralatan lainnya. Kebutuhan berhidroponik saya lengkapi dengan 5 batang paralon 3 in plus dop, keni 3/4, lem tembak, lem pvc, dll. 5 batang pipa itu menghasilkan sekitar 80-an lubang. Bahan instalasi dienapkan dengan netpot dari gelas bekas minuman ringan hasil mulung.

Setelah dirasa cukup, saya melakukan pengukuran, pemotongan, pengeboran, dan dan perakitan pipa. Instalasinya saya pasang di tembok halaman. Dengan keni 3/4 sebagai penghubung antar pipa, saya menyusunnya secara vertikal. Saat uji coba aliran air nutrisi bagian tengah paralon melengkung ke bawah menahan beban air yang menggenang. Usut punya usut ternyata pemasangan keni penghubung pada dop paralon terlalu tinggi sehingga air tidak dapat mengalir maksimal. Air dalam tandon juga keburu habis sebelum proses sirkulasi putaran pertama berakhir.

Melihat kondisi itu saya mengganti keni dengan ukuran 2 in. Saya beli lagi dan biaya bertambah. Untung ada sebatang paralon 2 in tak terpakai di gudang Bapak. Kali ini aliran air cukup lancar.

Persoalan belum selesai sampai di sini. Saya mengalami kendala saat semai. Semai pertama dan kedua menggunakan metan arang sekam. Tidak saja pertumbuhan terlambat terkena simat tetapi sepertinya kemampuan arang sekam menyimpan air sangat rendah. Akibatnya semaian cenderung kering. Maka tumbuhlah semaian kutilang (kurus tinggi langsing. Semaian ke tiga saya menggunakan rockwool. Semaian yang terdiri dari sawi pagoda dan caisim berhasil.

Keberhasilan semai salah satu kata kunci kata para pegiat senior. Anggapan ini benar. Akan tetapi kebutuhan tanaman terhadap nutrisi dan simat sebagai bahan dasar fotosintesis juga tidak dapat diabaikan.

Ini terjadi pada tanaman saya. Pertumbuhannya lamban. 7 HST (seminggu pertama) masih ngumpet dalam netpot. Dengan modal kuota saya googling. Saya mendapati diri saya dalam kesalahan. Tanaman pada pipa bawah kurang paparan simat. Penyebabnya terhalang bangunan rumah saya sendiri. Tembok halaman tempat pemasangan yang menghadap ke arah timur hanya diterpa simat 4-5 jam. salah satu instalasi pipa hanya 2-3 jam. Nutrisipun kurang terkontrol sehingga hasilnya tidak maksimal. Tetapi hasil maksimal itu masih bisa di sayur.

Hidroponik merupakan teknik bertanam pada lahan sempit dan sangat sesuai untuk lahan kurang air. Untuk skala rumah tangga hidroponik dapat menjadi salah satu cara membangun ketahanan pangan. Hanya saja membutuhkan biaya instalasi media tanam yang cukup besar. Beberapa pegiat hidroponik meminimalisir biaya dengan menggunakan barang-barang bekas, seperti botol bekas, jerigen, atau wadah lain yang tidak terpakai.

Ada beberapa teknik bertanam hidroponik yang biasa digunakan. Saya mencoba menggunakan sistem irigasi dengan metode DFT atau Deep Flow Technique. DFT merupakan salah satu sistem tanam dalam hidroponik yang menggunakan genangan pada instalasi. Dengan pompa air sebagai penggerak, air mengalami gerakan sirkulasi pada pipa tanam. Pada sistem ini netpot dilengkapi dengan sumbu untuk menyerap air yang mengalir pada akar tanaman. Hal ini akan menjaga media tanaman tetap basah.

Bentuk lain sistem irigasi adalah NFT; suatu metode hidroponik dengan akar tanaman tumbuh pada lapisan nutrisi yang dangkal dan tersirkulasi sehingga tanaman dapat memperoleh cukup air, nutrisi, dan oksigen.

Kedua sistem irigasi hidroponik di atas hampir sama. Perbedaannya pada jumlah sirkulasi air pada media tanam. Pada DFT air cenderung menggenang sedangkan pada NFT hanya dialiri air dengan lapisan tipis. Perbedaan lainnya terletak pada waktu yang dibutuhkan untuk sirkulasi. Pada DFT alirannya dapat diatur sesuai dengan kebutuhan karena masih ada genang sehingga memungkikan tanaman tetap segar. Sedangkan pada NFT sirkulasi air harus tetap mengalir selama 24 jam untuk menghindari tanaman mengalami kekeringan pada akar yang dapat menyebabkan layu bahkan kematian.

Selain dua teknik di atas ada beberapa alternatif bertanam secara hidroponik yang berkembang, seperti rakit apung atau wick system, aeroponik, vertikultur, dan lain-lain. 

Referensi, 1, 2, 3, 4, 5

istilah-istilah hidroponik

HST = hari setelah tanam

HSS = hari setelah semai

simat = sinar matahari

metan = media tanam

PH meter = alat unut mengukur asam-basa larutan

TDS meter = Alat mengukur kepekatan nutrisi hidroponik


1 komentar:

Menulis Itu Mudah? (9)

  Benarkah menulis itu mudah? Pertanyaan ini pada dasarnya muncul dari dua pernyataan yang bersifat paradoks, berseberangan, atau bertentang...